Alat Musik Angklung
Alat Musik Angklung
Alat Musik Angklung
Oleg Sugeng Harnanto
SDN Tambakroto
Pendahuluan
Alat Musik Tradisional Indonesia – Sebagai seorang rakyat
dari sebuah negara Indonesia yang sangat kaya akan budaya, kali ini saya akan
menulis lagi tentang salah satu kekayaan budaya Indonesia yaitu Alat Musik
Tradisional Indonesia. Sebelumnya, saya juga sudah pernah menulis artikel yang
bertema budaya Indonesia yang lain seperti Rumah
Adat Indonesia, Tarian Tradisional Indonesia dan Pakaian Tradisional Indonesia.
Alat Musik Tradisional Indonesia atau
yang biasa juga disebut dengan alat musik daerah Indonesia sangat banyak sekali
karena biasanya masing-masing provinsi mempunyai alat musik tradisional
masing-masing.
Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional
berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan
oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Tidak ada petunjuk sejak kapan
angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam
kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru
muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya
musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan
(hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli,
menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400
tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan
dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan
sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu
putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil
hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak
masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam
pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa
sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung,
pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan
oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan
terhadap Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang
bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu
yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen
dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian
Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah
pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat
menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung
berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada
1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu
permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan
berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan
bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis-jenis
Angklung adalah sebagai berikut:
Angklung
Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita
sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus
padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika
menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di
Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di
Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus
padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa
ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi.
Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan,
dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung
biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung
di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam
lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala,
Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong
Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,
Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler,
Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre,
Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para
penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil
membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu
yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku
tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan
pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari
yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung
leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik,
hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo,
hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat
angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3
kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak
semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di
Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah.
Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung
Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di
masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama
salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena
kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh
masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat.
Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah
sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada
masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih
memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para
pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit
bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak
terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi
bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian
yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan,
yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara
kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah
2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini
mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking,
dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah
enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale
Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si
Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini
berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung
Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung
Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan
digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai
ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung
Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang
menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama.
Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah
Islam. Tetapi diduga badeng
telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara
yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng
dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau
17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu
sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak
sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan
angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung,
serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi
teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut
keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan
pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh,
Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan
yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian
yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan
sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan
masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama.
Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam
penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan.
Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai
menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang
lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang
langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis
yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan
lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan
dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang
buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis,
sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam
kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas,
2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1
talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah
dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan
lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya:
Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum.
Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan
penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk
menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di
Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni
pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan
Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada
diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan
angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan
dimainkan secara orkestra besar.
Angklung
Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung
yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada
angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian,
angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain
dalam Ensembel
dengan alat musik internasional lainnya.
o
Angklung melodi kecil,
terdiri atas 31 angklung.
o
Angklung melodi besar,
atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
o
Angklung akompanimen
mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
o
Angklung akompanimen
minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung
ciptaannya untuk melatih anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran
kalau lagu-lagu yang dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan aransemen asli Daeng Soetigna
misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa", "Ibu Kita Kartini", atau
"Wajib Belajar". Sekitar tahun 1980-an, KPA SMA 3 Bandung berdiri
dengan perintis muda seperti Djoko, Budi Supardiman, dan Asep Suhada. Mereka
mulai mengaranseman angklung padaeng untuk musik-musik modern Indonesia seperti
"September Ceria" (Vina Panduwinata), "Astaga" (Ruth Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke musik manca negara mulai dari
"Yesterday" (Beatles), "Another Day in Paradise" (Phil Collins),
hingga "Bohemian Rhapsody" (Queen).
Angklung
Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah
untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis)
dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do
sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah
hingga mi tinggi).
Aruba
Aruba adalah nama grup musik (band)
yang pertama kali memperkenalkan angklung solo, dimana satu unit angklung
digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai
dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang
bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Grup Aruba
ini berdiri dirintis oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan kemudian berubah nama
menjadi Arumba sekitar tahun 1969.[1]
Arumba
Arumba adalah istilah bagi
seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas: [2]
Konfigurasi awal ensemble tersebut
diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya
bersama grup "Arumba Cirebon" [3].
Angklung
Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang
Yayan Udjo sekitar tahun 2008. [4] Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan
beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk
memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung
akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.
Angklung
Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko
Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. [5] Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih
tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni
(mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide
sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara
simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
Teknik
Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat
mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya
tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya
(biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga
teknik dasar menggoyang angklung:
Sementara itu untuk memainkan satu
unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang
dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga
empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan
menyiapkan partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus
dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus
memainkan angklungnya dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta
konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik
sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera
setelah nada berikutnya mulai berbunyi.
Posting Komentar